Pada suatu
ketika di sebuah desa tinggallah sebuah keluarga kecil yang terdiri atas
seorang ibu dan kedua orang anaknya. Oleh penduduk desa, ibu itu dipanggil
dengan sebutan Indu Palui, sebab anaknya yang sulung bernama Palui. Suami Indu
Palui telah lama meninggal dunia, sehingga ia harus merawat kedua orang anaknya
sendirian. Untuk menghidupi keluarganya, Indu Palui sehari-hari bekerja di
ladang sayuran yang terletak di belakang rumahnya. Setiap hari ia bekerja keras
di ladang demi kedua anaknya. Ia merasa kasihan pada anak-anaknya, sebab Palui
dan adiknya telah kehilangan sosok seorang ayah semenjak mereka masih kecil.
Oleh karena itu, Indu Palui bertekad akan berjuang demi kebahagiaan kedua
anaknya. Namun sayang, kerja keras Indu Palui tersebut disalahartikan oleh
Palui dan adiknya. Karena terlalu dimanja Palui tumbuh menjadi seorang pemuda
yang malas, sedangkan adiknya menjadi anak yang cengeng, terutama apabila
keinginannya tidak dapat terpenuhi.
Suatu hari, seperti biasanya Indu
Palui ada di ladangnya untuk bekerja. Hari itu ia membersihkan rerumputan yang
tumbuh liar di ladangnya. Tiba-tiba, ia menemukan seekor sangkalap montak, yaitu belalang yang ukurannya sangat besar. Indu
Palui sangat senang. Ia bergegas membawa sangkalap
itu ke dapur rumahnya. Ia meminta Palui mengurung sangkalap itu, untuk dijadikan makan siang mereka nantinya. Melihat
sangkalap yang ditemukan ibunya,
timbul selera Palui untuk segera memakan sangkalap
tersebut. Ia kemudian berpikir, bagaimana caranya agar ia dapat menikmati sangkalap tersebut, tanpa membuat ibunya
marah. Terpikirlah oleh Palui suatu cara. Ia menghampiri adiknya yang sedang
asyik bermain, kemudian dari jarak yang agak jauh, dilontarkannya batu kecil
kepada adiknya dengan ketapel. Batu yang melontar itu berhasil mengenai
punggung adik Palui. Merasa kesakitan, adik Palui menangis sangat nyaring.
Mendengar tangisan anak bungsunya, maka berteriaklah Indu Palui dari tempatnya
bekerja, “ O, Palui! Kenapa adikmu
menangis?”. Palui pun menjawab ibunya, “Adik
menangis karena ingin memakan sangkalap montak itu tadi, Umai”. Mendengar
hal itu Indu Palui merasa iba dengan anaknya, kemudian ia berseru lagi kepada
Palui, “ Kalau begitu masak saja
sangkalap montak itu untuk adikmu, Palui. Agar ia berhenti menangis”.
Merasa rencananya berhasil, Palui pun menjawab ibunya dengan bersemangat,” Baiklah, Umai!”
Maka Palui memasak sangkalap montak
itu. Setelah sangkalap masakannya
telah siap, ia memberikan sedikit bagian kepada adiknya, sedangkan baginya sendiri
ia ambil bagian yang paling banyak. Kedua bersaudara tersebut dengan lahap
menghabiskan makanan lezat tersebut. Mereka tidak menyisakan sedikit bagian pun
bagi sang ibu. Sungguh tega!
Siang harinya, Indu Palui kembali ke
rumahnya. Ia merasa kelelahan setelah bekerja begitu keras di ladang. Dalam
hatinya, ia mengidamkan untuk memakan sangkalap
montak yang lezat sebagai makan siang sembari mengistirahatkan tubuhnya
yang sangat lelah. Setibanya di rumah Indu Palui mencari masakan yang diidam-idamkannya
tersebut. Karena tidak menemukannya di dapur, ia pun menjadi bingung. Ia
kemudian memanggil Palui dan menanyakan kemana masakan sangkalap montak yang dimasak oleh Palui. “Lui, Palui! Ke sini, nak! Umai ingin memakan sangkalap montak yang kau
masak tadi, nak. Dimanakah kamu simpan masakannya, Palui?” begitu Indu
Palui bertanya. Palui menjawab dengan enteng,”
Sudah habis, Mai. Tadi kami berdua adik yang menghabiskannya”. Indu Palui
kaget dan merasa kecewa, tetapi ia mencoba bersabar dan berkata lagi kepada
Palui,” Kalau begitu bekasnya pun tak
apa, nak. Umai hanya ingin merasakan sedikit saja sangkalap montak itu”. “Sudah
habis juga, Mai. Tadi kami berdua adik menghabiskannya hingga tak tersisa
sedikit pun”, ujar Palui yang sudah mulai jengah menghadapi pertanyaan
ibunya. Alangkah miris hati Indu Palui, begitu tahu bahwa tak ada secuil pun
makanan yang disisakan baginya. Ia sangat kecewa kepada anak-anaknya yang
begitu tega kepadanya. Merasa sangat sedih, Indu Palui pun lari ke hutan. Ia
menemui sebuah Batu Manganga, yaitu
batu berukuran sangat besar yang memiliki rongga yang berbentuk seperti mulut.
Konon, batu tersebut adalah batu sakti, yang bisa menelan manusia ke dalamnya.
Indu Palui meratap tersedu-sedu di
depan Batu Manganga itu. Ia sangat
putus asa, sehingga ia berkata kepada Batu
Manganga, “ Sungguh malang nasibku.
Hidup menjanda ditinggal mati suamiku. Kedua anakku pun tidak menyayangiku.
Apalah gunanya aku hidup di dunia ini lagi, tanpa seorang pun yang peduli
padaku. Telan saja aku, wahai Batu Manganga!” Mendengar tangisan Indu Palui,
Batu Manganga itu pun menelan tubuh
Indu Palui.
Sementara itu di desa, adik Palui
menangis karena mencari ibunya yang tak kunjung datang. Tak tahan mendengar
adiknya menangis, Palui pun mencari-cari kemana ibunya pergi. Ia mencari sang
ibu ke seluruh pelosok desa. Namun hingga petang, ia tidak bisa menemukan
ibunya. Palui pun mulai merasa cemas. Ia kebingungan. Sebab tanpa ibunya tak
ada apapun yang bisa diperbuatnya. Palui mulai berpikir, apakah ibunya marah
karena perbuatannya tadi siang. Tiba-tiba Palui merasa bersalah. Bersama
adiknya, ia mencari sang ibu hingga ke hutan. Kedua bersaudara itu sampai
kepada Batu Manganga yang ada di hutan tersebut. Mereka bertanya pada Batu
Manganga yang pertama, “ Tuan Batu
Manganga adakah kau melihat ibu kami?” Batu Manganga itu menjawab, “ Tidak ada. Lagipula untuk apa gerangan
seorang ibu lari ke hutan belantara ini”. Palui kemudian menemui Batu
Manganga yang kedua, lalu berkata,” Wahai
Tuan Batu Manganga, adakah kau lihat ibuku?” Batu Manganga kedua itu pun
menjawab,” Tidak ada. Aku tak kenal
kepada ibumu.” Akhirnya sampailah
Palui kepada Batu Manganga yang ketiga. Pada saat itu Palui melihat bahwa Batu
Manganga itu menutup mulutnya. Dalam hatinya ia merasa heran sekaligus berharap
Batu Manganga yang terakhir tersebut tahu dimana ibunya berada. Maka
bertanyalah Palui, “Tuan Batu Manganga,
adakah kau melihat ibu kami?”. Batu Manganga itu balik bertanya kepada
Palui, “ Siapa namamu?!”. “Nama saya Palui, tuan. Saya kebingungan
mencari ibu saya yang tak ada pulang semenjak siang. Adik saya yang kecil ini
pun menangis karena kelaparan dan ingin bertemu dengan ibu kami”. Mendengar
perkataan Palui itulah Batu Manganga tahu bahwa wanita yang ditelannya siang
tadi adalah ibu dari Palui dan adiknya, maka berkatalah ia dengan suara yang
menggelegar kepada Palui, “ Ho, rupanya
kalian berdua ini anak yang durhaka kepada ibu sendiri! Ibu kalian sudah
bekerja keras untuk membesarkan kalian, tetapi kalian tidak pernah mengiba
kepadanya! Tahukah kalian, bahwa ibu kalian sudah aku telan. Dan ia tidak bisa
keluar lagi, sebab kesedihannya terlalu mendalam!” Mendengar Batu Manganga
itu, Palui merasa takut. “Ampun tuan,
saya merasa sangat menyesal telah membuat ibu kami bersedih. Saya berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan saya lagi. Ampun tuan, tolong keluarkan ibu
kami. Tidakkah tuan kasihan kepada adik saya yang masih kecil ini…?” “ Aku
tidak bisa Palui! Ibumu sendiri yang memintaku untuk menelan dirinya. Hanya
mantra dari tiga tukang tenung sakti yang bisa mengeluarkan ibumu. Carilah Indu
Bubut, Indu Ampit, dan Indu Balida!”, Batu
Manganga itu memberikan penjelasan kepada Palui. Segera setelah mendengar
hal tersebut, Palui dan adiknya berlari untuk memanggil ketiga tukang tenung
yang disebutkan oleh Batu Manganga.
Beberapa lama kemudian, mereka kembali bersama ketiga tukang tenung sakti
tersebut. Mantra-mantra pun mulai dilontarkan untuk mengeluarkan tubuh Indu
Palui. Tukang tenung pertama, Indu Bubut mengucapkan jampi-jampinya: “ But,but,but!!! Majuhut Indu Palui bara
rumbak Batu Ngangaa!!!”. Ajaib! Keluarlah kedua tangan dan ujung kaki Indu
Palui. Kemudian Indu Ampit mengucapkan jampi-jampinya: “ Pit,pit,pit!!! Majijit Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaa!!!”.
Separuh badan Indu Palui keluar dari mulut Batu Manganga. Kemudian, tukang
tenung yang terakhir, Indu Balida mengucapkan jejampinya,” Da,da,da!!!! Manunda Indu Palui bara rumbak Batu Ngangaa!!!”.
Akhirnya Indu Palui keluar dari dalam Batu Manganga tersebut.
Bukan main senangnya hati Palui dan
kedua adiknya. Mereka segera memeluk ibunya, kemudian meminta ampun atas segala
kesalahan yang selama ini mereka perbuat kepada ibunya. Setelah peristiwa itulah,
kedua bersaudara tersebut menjadi anak yang baik dan penyayang kepada ibunya.
Perubahan sikap kedua anaknya tersebut membawa kebahagiaan bagi sang ibu. Indu
Palui menjadi semakin menyayangi kedua anaknya dan kehidupan dalam keluarga
kecil itu pun berubah jauh lebih baik dari sebelumnya. Segala kebahagiaan
tersebut tak lupa mereka bagikan kepada ketiga tukang tenung yang telah membantu
mengeluarkan Indu Palui pada saat ditelan Batu
Manganga. Sebagai rasa syukur dan terima kasihnya, keluarga Palui
memberikan hadiah kepada ketiga tukang tenung yang juga siluman binatang tersebut.
Kepada Indu Balida, yang merupakan siluman Ikan Belida, Palui memberikan pilus
(jarum), oleh karena itulah konon Ikan Belida memiliki banyak tulang-tulang
kecil di dalam tubuhnya. Kepada Indu Bubut, yang merupakan siluman Burung Bubut
diberikan oleh Palui minyak, karena itulah konon Suku Dayak menggunakan minyak
Burung Bubut yang dipercaya memiliki khasiat kesembuhan. Dan terakhir kepada
Indu Ampit, yang Merupakan siluman Burung Ampit, Palui memberinya kain berwarna
coklat kemerahan, oleh karena itu Burung Ampit bulunya berwarna coklat
kemerahan.